ORIENTASI BARU BIMBINGAN DAN KONSELING

23 February, 2009

Pada masa sebelumnya (atau mungkin masa sekarang pun, dalam prakteknya masih ditemukan) bahwa penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling cenderung bersifat klinis-therapeutis atau menggunakan pendekatan kuratif, yakni hanya berupaya menangani para peserta didik yang bermasalah saja. Padahal kenyataan di sekolah jumlah peserta didik yang bermasalah atau berperilaku menyimpang mungkin hanya satu atau dua orang saja. Dari 100 orang peserta didik paling banyak 5 hingga 10 (5% - 10%). Selebihnya, peserta didik yang tidak memiliki masalah (90% -95%) kerapkali tidak tersentuh oleh layanan bimbingan dan konseling. Akibatnya, bimbingan dan konseling memiliki citra buruk dan sering dipersepsi keliru oleh peserta didik, guru bahkan kepala sekolah.
Ada anggapan bimbingan dan konseling merupakan “polisi sekolah”, tempat menangkap, merazia, dan menghukum para peserta didik yang melakukan tindakan indisipliner.

Anggapan lain yang keliru bahwa bimbingan dan konseling sebagai “keranjang sampah” tempat untuk menampung semua masalah peserta didik, seperti peserta didik yang bolos, terlambat SPP, berkelahi, bodoh, menentang guru dan sebagainya. Masalah-masalah kecil seperti itu sebenarnya dapat diantisipasi dan diatasi oleh para guru mata pelajaran atau wali kelas dan tidak perlu diselesaikan oleh guru pembimbing/konselor.

Mengingat keadaan seperti itu, kiranya perlu adanya orientasi baru bimbingan dan konseling yang bersifat pengembangan atau developmental dan pencegahan atau preventif. Dalam hal ini, Sofyan. S. Willis (2004) mengemukakan landasan-landasan filosofis dari orientasi baru bimbingan dan konseling, yaitu :

1. Pedagogis; artinya menciptakan kondisi sekolah yang kondusif bagi perkembangan peserta didik dengan memperhatikan perbedaan individual diantara peserta didik.
2. Potensial, artinya setiap peserta didik adalah individu yang memiliki potensi untuk dikembangkan, sedangkan kelemahannya secara berangsur-angsur akan diatasinya sendiri.
3. Humanistik-religius, artinya pendekatan terhadap peserta didik haruslah manusiawi dengan landasan ketuhanan. peserta didik sebagai manusia dianggap sanggup mengembangkan diri dan potensinya.
4. Profesional, yaitu proses bimbingan dan konseling harus dilakukan secara profesional atas dasar filosofis, teoritis, yang berpengetahuan dan berketerampilan berbagi teknik bimbingan dan konseling.

Dengan adanya orientasi baru ini, bukan berarti upaya-upaya bimbingan dan konseling yang bersifat klinis ditiadakan, tetapi upaya pemberian layanan bimbingan dan konseling lebih dikedepankan dan diutamakan yang bersifat pengembangan dan pencegahan. Dengan demikian, kehadiran bimbingan dan konseling di sekolah akan lebih dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh peserta didik, tidak hanya bagi peserta didik yang bermasalah saja.


* * *

0 comments

Post a Comment

Jika berkenan, tinggalkan comment anda di sini!!! Terima kasih...

Terbanyak Dikunjungi